Manusia Tak Pernah Jujur

 





"Manusia itu tidak pernah jujur."


Aku menyamai langkah pada sosok perempuan dengan potongan rambut pendek asal-asalan karena ia bilang, ia memotong rambutnya sendiri. Perempuan yang sekiranya memiliki umur yang sama denganku,  walau sebenarnya status perempuan itu adalah senior ku  dalam kampus.

"Oh ya?" tanyaku.

Perempuan itu mengangguk yakin. 

"Kamu tahu darimana?" tanyaku kembali.

"Darimana-mana," jawabnya asal. Dia mendongak ke arah langit, menengadahkan tangan seakan menunggu tetesan air hujan jatuh ke tangannya, padahal siang ini sangat cerah.

"Almarhum ibu saya pernah berpesan agar saya menjadi anak yang jujur dan penurut," ucapnya mulai bercerita. "Tapi dia sendiri yang tidak jujur kalau punya penyakit menyakitkan yang mengerogoti tubuhnya sendiri."

"Kamu tahu kenapa beliau berpesan begitu?"

Perempuan itu menggeleng.

"Terlalu susah," jawabnya lirih.

"Karena beliau ingin kamu tidak seperti dirinya."

Dia menoleh padaku, menampar pipi kananku dengan pelan.

"Sakit?" tanyanya.

"Iya, sakit banget," ucapku mengelus-ngelus pipi kanan saya yang tidak merah.

"Kamu bohong," ucapnya.

Perempuan itu benar. Aku tidak merasakan sakit sama sekali saat ditampar olehnya. Justru aku merasa senang saat perempuan itu menamparku seperti itu.

Kami lanjut melangkah kembali di pinggir jalan raya Ibukota yang selalu ramai.

"Lantas, apa yang membuatmu berucap manusia tidak pernah jujur?"

"Tidak tahu."

Aku mengernyit.

"Saya berucap seperti itu karena bukannya memang benar adanya? Manusia itu pasti pernah bohong, tak usah jauh-jauh untuk membohongi orang lain. Manusia pasti pernah membohongi dirinya, berkata bahwa tidak sakit, padahal jelas sangat menyakitnya, ataupun sebaliknya."




Komentar