"Ma, aku pulang."

 

"Ma, aku pulang." 

Anak kecil perempuan itu berteriak di ambang pintu, kala itu umurnya baru saja berusia 7 tahun, baru memasuki sekolah dasar. 

Saat itu, dia pulang ke rumah dengan seragam yang acak-acakan, ada noda lumpur dan tanah menempel di beberapa titik, rambut pendeknya sudah berbentuk seperti jajanan permen nenek sihir di depan sekolah, wajahnya pun sudah dekil dan kusam dipenuhi debu, seperti seorang anak yang mengalami sebuah masalah besar terjadi saat pulang sekolah.

Alih-alih menangis dan mengadu pada sang mama, ia justru mengukir sebuah bulan sabit di wajahnya.

Saat sang mama menghampiri dan bertanya ada apa, anak perempuan itu tersenyum dengan heboh dia segera menjawab, "aku mengalahkan anak cowok bandel!" 

Sang mama khawatir dengan jelas, namun ia tetap membelai halus rambut anaknya dan berkata "kamu hebat."


. . .


"Ma, aku pulang."


Anak kecil perempuan itu sudah beranjak menjadi seorang gadis remaja yang feminim, ia pulang sekolah dengan seragam yang tetap rapi, bahkan wangi parfum vanilla yang ia kenakan tadi pagi masih terasa dengan jelas di indera penciuman. Mama datang menghampiri, segera berkomentar, "wangi banget, dek."

Gadis itu tersenyum tersipu sangat manis, pipinya segera memancarkan semburat merah semerah tomat segar yang dijual tukang sayur. "Tadi aku pulang bareng sama cowok yang aku suka." Gadis itu sudah mengenal sosok lelaki rupanya, pantas saja terlihat lebih bahagia.


. . .


"Ma, aku pulang."

Perempuan itu melangkah memasuki rumahnya, tubuhnya sudah begitu tinggi, rambut hitamnya dibiarkan terjatuh halus sepunggung, raut wajahnya nampak berantakan, ia memijat pelipisnya sendiri dan mulut bergumam-gumam: "Ruwet sekali dunia ini"

Sang mama tak lagi menghampiri saat ia sudah sampai di rumah, dan perempuan itu mengerti, kini gilirannya yang menyapa sang mamah. Kakinya dengan teratur melangkah menuju kamar mama, setelah mengetuk pintu meminta izin untuk masuk, perempuan itu mendorong kenop pintu.

Mamanya yang terbaring lemas di ranjang menoleh pada anak peempuannya yang sudah dewasa; sudah masuk di dunia kerja, senyum hangat yang belum berubah sejak dulu terukir di wajah mama, dengan hati-hati mama mengangkat tangan memanggil sang anak untuk mendekat.

"Selamat datang, bagaimana harimu di kantor?"


. . .


"Ma, aku pulang."

Lantas, sepi segera menyerang saat perempuan itu masuk rumah, keheningan menyapanya tanpa gurat senyum. Tak ada lagi ucapan selamat datang ataupun senyum hangat dari mama yang menyapa kala pulang ke rumah.

Kini sepi dan hening.

Komentar