Uap Kopi
Day 3
Dia tersenyum dari balik uap kopi yang menggepul diatas kopi hitam yang selalu ia pesan.
"Jadi bagaimana? Sudah menemukan kerja?"
Aku jelas menggeleng lemah, merunduk, dan meremas celana bahan hitam yang aku kenakan.
"Belum," lirihku. Sungguh diriku ini sangat sial dan menyedihkan, hingga tak berani memandang dunia.
Dia tersenyum kembali.
"Nggak papa, melangkah pelan itu bukan sebuah dosa," ucapnya membuatku kembali mendongak.
Memandangi wajah tampannya yang terkena cahaya matahari yang mengintip lewat ventilasi kafe di sore kala itu. Tidak terlalu jelas, namun garis di wajahnya terlihat begitu halus, hingga membuatku terpana beberapa saat.
"Benar tidak apa-apa? Saya takut kalau dihina keluarga besar," balasku mengutarakan sebuah masalah yang selama ini membuatku pusing.
"Kan saya sudah bilang, jangan memikirkan orang lain."
Aku terdiam.
"Anggap saja itu hanyalah kicauan burung yang hanya lewat di atap rumah, anggap saja itu hanyalah suara angin besar yang lewat sesekali."
Aku terdiam, lagi.
Dia memang selalu membuatku tenang.
"Terima kasih, kamu selalu baik."
Dia tersenyum kembali di balik uap kopi yang perlahan menghilang, begitu pula dengan dirinya.
Komentar
Posting Komentar