Tempat Pulang
“Jadi sebenarnya, kamu yang mana?” Aku menoleh sepenuhnya pada sesosok gadis dengan kaos hitam yang dilapisi cardigan biru juga celana kain hitam jatuh tengah berdiri di sebelah kananku.
Kinan, namanya.
“Yang mana gimana, Nan?” balasku sok tidak tahu, padahal jelas, aku tahu dan sangat tahu apa yang Kinan ini maksud.
“Jiwamu saat ini yang tengah bersamaku,” jawab Kinan perlahan dan serius.
Aku membuang muka, memandangi hamparan sungai berwarna biru gelap di bawah jembatan yang sedang kami injak saat ini.
“Ini aku, Kinan, aku yang sebenar-benarnya.”
Aku menghela napas. Lanjut berkata.
“Aku, Neyra, yang bersamamu ini adalah Neyra yang sebenarnya, bukan Neyra yang menjadi boneka orang tua, bukan juga Neyra yang menjadi gadis ramah. Neyra yang bersamamu ini adalah Neyra yang sebenar-benarnya. Neyra yang rapuh dan takut pada dunia.”
Kinan menoleh padaku, tangannya terangkat halus untuk menyentuh bahuku yang bergetar.
“Nggak papa, takut pada dunia itu wajar, Ney,” jawabnya berbisik halus.
“Jadi, kenapa kamu pergi dari rumah?” tanya Kinan kemudian.
Aku bergeming. Tak tahu harus menjawab apa. Kenapa pergi dari rumah? Karena lelah pada tuntutan, mungkin? Atau karena sudah capek sendiri dengan keluargaku ini yang tidak ada habisnya beradu argumen?
Entah ...
Aku sendiri pun tidak tahu kenapa aku pergi, ada satu naluri tersendiri dari dalam tubuhku yang menyuruhku pergi saat ayah menamparku keras karena dapat nilai 80.
Ya ... mungkin saja jiwa kecilku ini sudah lelah menjadi sebuah boneka yang menuruti perintah tuannya.
Mungkin aku ingin bebas.
Aku pun tidak tahu, karena aku sendiri tidak mengerti pada diriku.
Jadi hebat, ketika Kinan memahami diriku lebih dari aku memahami diriku sendiri.
“Kamu mau kemana? Menginap di rumahku saja?” tanya Kinan.
Aku menggeleng pelan. “Tak usah, aku pulang saja.”
“Kamu yakin?”
“Aku yakin.”
“Tapi ... apa jiwamu juga yakin? Kamu terlalu memaksakan diri, Ney. Ambil jatah istirahat saja, yuk.”
“Tak usah, Kinan. Aku tidak apa-apa.”
Kinan menurunkan tangannya dari bahuku, ia mendenguskan hidungnya yang memerah.
“Yakin?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu ... aku pulang, Nan. Kamu juga hati-hati jaga diri selalu, ya?”
Kinan mengangguk.
“Jaga diri, Neyra. Sampai nanti!”
Lalu kami berdua berbalik ke arah yang berbeda, meninggalkan jembatan itu. Aku melangkah pulang, begitu juga dengan Kinan. Walau aku dan Kinan sama-sama tak memiliki rumah yang hangat, tapi kami tetap akan pulang. Walau aku dan Kinan nantinya tidak akan disambut, kami akan tetap pulang.
Tapi maaf, Kinan, tujuan pulangku saat ini berbeda.
Bukan pulang ke rumah sederhana berlatar putih dengan 3 kamar itu.
Aku pulang ke tempat manusia lain berpulang yang sebenar-benarnya. Kinan, aku akan mengambil jatah istirahatku...
... selama-lamanya.
Komentar
Posting Komentar