Berandai - 01.
Ini tentang saya dan seorang pemuda yang saya temui di tempat les beberapa tahun lalu, saat saya masih berumur 13 tahun dan baru saja mengambil jenjang sekolah menengah pertama.
Ini juga tentang bagaimana dalamnya perasaan saya pada laki-laki tenang sepertinya, dan juga ... ini tentang ketakutan saya dalam berbicara.
. . .
Malam ini, tepatnya pukul 7 malam yang sudah gelap berawan, aku duduk sendirian di tempat les kecil yang hanya satu petak ruangan saja berisi 2 meja panjang, dan 2 papan tulis, berlatar merah muda. Aku duduk di bawah papan tulis putih pojok ruangan sambil menggambar-gambar hal yang tidak jelas di bagian belakang buku.
Menunggu ... dan terus menunggu.
Itulah hal yang aku lakukan.
Bosan sudah pasti melanda, karena entah mengapa daritadi belum ada yang datang sama sekali, ditambah lagi hari ini merupakan hari pertamaku di tempat les ini.
Sialnya hidup.
Aku menarik garis dan membentuk suatu sketsa di buku bagian belakang itu, sambil sesekali menulis-nulis hal yang terlintas dikepalaku karena bingung harus menghilangkan bosan ini bagaimana.
Sampai akhirnya, kudengar suara langkah kaki dari kejauhan, langkah kaki yang berhenti di depan pintu bersamaan dengan suara salam.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam—"
Aku otomatis menoleh kebelakang, entah mengapa mata bulatku membesar begitu pula dengan pupil hitam yang berada ditengahnya memandangi sosok pemuda jangkung yang sudah duduk bersila tenang di depan pintu sambil merunduk bermain ponsel hitam tipisnya.
Pemuda itu mencuri waktuku beberapa menit untuk mengangguminya.
Kakinya jenjang, tubuhnya kurus dengan bahu lebar yang dibalut oleh kaos oblong abu-abu dan celana pendek hitam, kulitnya tan, bibir merah ranumnya nampak indah sesekali tersenyum tipis memandangi layar ponsel, matanya kecil dengan iris hitam indah disana, rambut hitamnya terjatuh halus tanpa poni.
Terlampau seperti pemuda biasa saja dan tidak ada spesial-spesialnya.
Bisaku tebak, pemuda ini pasti sesosok senior dan sudah lama belajar ditempat les ini karena dia sangat santai.
Aku memandanginya cukup lama. Tidak tahu dia sebenarnya sadar kupandangi dengan intens atau dia tidak sadar sama sekali. Tapi aku puas sekali memandangi tiap inchi ciptaan Tuhan yang indah duduk ditempat yang cukup jauh dariku.
Aku di pojok ruangan dan dia berada di depan pintu.
Aku tersadar, kala pemuda yang belum kuketahui namanya itu mendongak tiba-tiba.
Saling tatap tak sengaja.
Senyum tipis terulas diantara kedua tatap.
Dan,
"Eh Dimas udah dateng."
Celetukan dari Miss Ratna si pemilik sekaligus pengajar bahasa inggris di tempat les kecil ini yang datang tiba-tiba dari ruangan lain membuat kami berdua saling membuang muka.
Memutuskan tatapan yang membuat hatiku meleleh, aliran darahku mengalir dengan cepat ke jantung, membuatnya jadi berdegup kencang bersamaan dengan bunga mekar dan kupu-kupu yang berterbangan dengan rusuh di perut.
Aku berdehem pelan, membersihkan tenggorokan yang kering, lalu melirik kecil ke arah pemuda jangkung tadi.
Siapa namanya tadi? Dimas?
Selanjutnya, satu demi satu pertanyaan kembali muncul dikepala.
Anak sekolah mana? Kelas berapa? Ikut ekskul apa? Punya pacar tidak? Jodohku bukan, ya?
Ah, aku ingin memperkenalkan diri rasanya, memberi tahu pada dirinya kalau namaku adalah Neira. Neira Saska Diandra. Tapi sedetik kemudian, aku merunduk malu sendiri karena tahu pasti namaku tidak terlalu penting baginya.
Ahh sedihnya hidup.
Tapi tetap, aku tak boleh pesimis! Aku harus memperjuangkan pemuda yang berhasil menggetarkan hati murniku ini.
Kak Dimas atau siapapun itu namanya, tunggu saja keberanianku. Malam ini aku bertekat, bertekat untuk lebih berani.
Komentar
Posting Komentar